Rabu, 19 Maret 2008

Tunduklah orang yg berAkal! kalau tidak mau Jadi Bebal!

BENTUK-BENTUK MUKHALAFAH



Bentuk-bentuk mukhalafah banyak ragam dan macamnya.

Ada orang yang menyelisihi sunnah Rasulullah saw,menentangnya dan bahkan melecehkannya hanya karena tidak masuk akal.Ada lagi orang yang menolak sunnah Rasulullah saw karena tidak cocok dengan perasaannya. Bahkan ada juga orang yang membuang sunnah Rasulullah saw karena bertentangan dengan madzhab yang dipeganginya.Dari semua bentuk dan ragam mukhalafah yang ada, dapat kita simpulkan bahwa mereka menolak sunnah Rasulullah saw karena tidak cocok dengan hawa nafsu pribadi atau golongannya.



Semua bentuk mukhalafah tersebut di atas dan juga yang lainnya termasuk dalam ancaman keras yang Allah sebutkan dalam surat An-Nuur ayat 63, karena mukhalafah yang tersebut dalam ayat itu masih bersifat umum.
Diantara bentuk mukhalafah terhadap sunnah ialah:

a. Menentang sunnah dengan akal Menolak sunnah dengan alasan tidak masuk akal atau bertentangan dengan dalil-dalil akal yang qath'i (pasti) adalah kebiasaan dan ciri khasahlul bid'ah. Hal ini merupakan salah satu asas timbulnya perpecahan dan penyimpangan. Jenis mukhalafah seperti ini biasa terjadi pada orang-orang yang tidak beriman kepada perkara ghaib.
Sebagai contoh, ketika dalam sebuah hadits Rasulullah saw mengabarkan bahwa maut akan datang pada hari kiamat dalam bentuk kambing kibas bertanduk dan disembelih pada suatu tempat diantara surga dan neraka. Mereka langsung menolaknya seraya berkata:"Hadits ini dlaif, karena mustahil maut itu berbentuk kambing dan disembelih. Ini sama sekali tidak masuk akal!" Padahal, hadits ini shahih dan termaktub dalam kitab Shahih Bukhari.Demikian pula ketika mereka menjumpai riwayat-riwayat yang tidak dapat mereka terima dengan rasio, mereka tidak segan-segan menolaknya dengan menyatakan: "Sekalipun sanad hadits ini shahih, tetapi matan (isi)nya dlaif karena tidak sesuai dengan realita dan rasio!
Namun, jika mereka tidak berani terang-terangan menolaknya dengan akal, maka mereka akan berusaha menyelewengkan dan mentakwilkan maknanya kepada apa yang diinginkan oleh hawa nafsu mereka. Mereka benar-benar mendewakan akal dan lebih mengutamakannya di atas ucapan Allah (Al-Qur'an) dan rasul-Nya (sunnah) serta menjadikannya sebagai hakim yang memutuskan segala perkara dunia dan akhirat mereka.
Padahal, jika memang akal manusia yang dangkal ini dapat dijadikan hakim yang memutuskan segala masalah, lalu untuk apa Allah SWT mengutus para Rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya serta meletakkan syari'ah-Nya?
Kalau memang akal dapat dijadikan sebagai hakim, lalu akal siapakah yang dapat dijadikan sebagai barometer (tolok ukur) dalam memutuskan segala sesuatu?


Semua ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh para penyembah akal yakni akal siapakah yang dapat dijadikan sebagai hakim?
Dan apa ukuran dalam memilih suatu akal yang dapat dijadikan sebagai hakim?

Kalau kita sebagai kaum muslimin yang Insya Allah masih bersih fitrahnya, tentu akan menyatakan tanpa ragu lagi bahwa: Akal orang-orang yang membenarkan wahyu, tunduk kepada-Nya dan menerima serta patuh kepada apa yang menjadi keputusan-Nya adalah akal yang rajih (kuat)"
(Ma Ana 'Alaihi Wa Ashhabi, hal. 156-¨157).

b. Menentang sunnah dengan qiyas

Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid dalam kitabnya Ilmu Ushulil Bida', hal.186-187
menjelaskan:
"Ketahuilah! Sesungguhnya landasan syari'ah ada 3 yaitu;

alkitab, as-sunnah dan ijma'.

Sedangkan landasan yang keempat yaitu qiyas ialah makna yang diistambath ¨(diambil) dari 3 landasan tersebut. Qiyas hanya memberikan faedah yang bersifat dhanny (tidak pasti), sehingga tidak dapat dianggap sebagai dalil untuk menetapkan masalah aqidah.
Para imam madzhab empat telah bersepakat bahwa qiyas tidak dapat dijadikan hujjah bila bertentangan dengan salah satu dari 3 landasan syari'ah tersebut. Qiyas baru dapat dijadikan sebagai ¨hujjah (karena darurat) jika tidak didapati pada ketiga landasan syari'at tersebut.Adapun kalau salah satu dari 3 landasan tersebut ada, maka qiyas tidak dapat dijadikan hujjah.
"Imam Al-Barbahari dalam kitabnya Syarhus Sunnah, no. 11, hal. 70 menyatakan:

"Ketahuilah! Mudah-mudahan Allah merahmati kamu.Sesungguhnya tidak ada qiyas dalam sunnah, dan tidak boleh membuat permisalan dalam sunnah serta tidak boleh mengikuti hawa nafsu dalam memahami dan mengamalkan sunnah. (Sikap kita) hanyalahtashdiq (membenarkan) terhadap atsar-atsar Rasulullah saw tanpa menanyakan bagaimana dan kenapanya.
"Menentang sunnah dengan qiyas adalah batil dilihat dari dua segi:
1. Sesungguhnya keberadaan nash, baik Al-Qur'an, as-sunnah ataupun ijma' adalah penghalang syar'i untuk menjadikan qiyas sebagai rujukan dan hujjah.

2. Adanya pertentangan antara ketiga landasan syariat dengan qiyas merupakan bukti batilnya qiyas tersebut" (Ma Ana 'Alaihi Wa Ashhabi,hal. 163)



c. Menentang sunnah dengan madzhab

Hal ini banyak terjadi di kalangan orang-orang yang ta'ashub (fanatik)dengan salah satu madzhab tertentu. Perbuatan ¨mereka ini adalah perbuatan yang batil, karena imam-imam mereka sendiri melarang mereka untuk bersikap taqlid, fanatik, atau menolak dan menentang sunnah dengan ucapan dan pendapatnya.

Abu Hanifah An-Nu'man bin Tsabit Al-Kufi rahimahullah berkata: "Tidak halal (haram) bagi siapapun untuk mengambil pendapat kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya" ¨(A'lamul Muwaqqi'in, 2/309 danShifat Shalat Nabi, hal. 46). Beliau juga menegaskan: "Kalau aku melontarkan suatu pendapat ¨yang menyalahi kitabullah dan sunnah Rasulullah, maka tinggalkanlah pendapatku"
(Shifat Shalat Nabi, hal. 48).

Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata: "Aku hanyalah manusia biasa.Aku bisa salah dan bisa pula benar. Oleh karena itu lihatlah pendapatku, kalau mencocoki al-kitab dan as-sunnah, ¨maka ambillah.Tetapi kalau menyalahi al-kitab dan as-sunnah, ¨maka inggalkanlah"
(Shifat Shalat Nabi, hal. 48).

Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i berkata:
"Bila kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi sunnah Rasulul saw, maka ambillah sunah Rasul ¨tersebut dan tinggalkanlah pendapatku"
(Shifat Shalat Nabi, hal. ¨50).
Beliau juga mengatakan: "Setiap ada suatu permasalahan yang dishahihkan oleh sunnah Rasul dan menyelisihi pendapatku, maka aku rujuk dari pendapatku tersebut, baik pada masa hidupku maupun sepeninggalku"(Shifat Shalat Nabi, hal. 52).
Beliau juga berkata: "Semua hadits shahih yang diriwayatkan dari Rasulullah saw, maka itu adalah pendapatku; sekalipun kalian tidak mendengarnya dariku"
(Shifat Shalat Nabi, hal. ¨52).

Imam ahlus sunnah Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: ¨"Janganlah engkau bersikap taqlid kepadaku, jangan pula kepada Malik, Syafi'i, Al-Auza'i dan Ats-Tsaur, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil"
(A'lamul Muwaqqi'in, 2/302 dan Shifat ¨Shalat Nabi, hal. 53).

Beliau juga menyatakan: "Pendapat Al-Auza'i,Malik dan Abu Hanifah adalah sekedar pendapat dan menurutku semuanya sama. Tetapi hujjah itu adalah atsar ¨Rasulullah saw
(Shifat Shalat Nabi, hal. 53 Mereka semua menyatakan: "Bila ada hadits shahih, maka ¨itulah pendapatku" (Shifat Shalat Nabi, hal. 46).

Demikianlah ucapan dan pernyataan imam madzhab empat yang ¨mereka (orang-orang yang ta'ashub) fanatik kepadanya. Kalau memang mereka benar-benar mengikuti imam mereka, seharusnya mereka akan melaksanakan petuah imam dan tidak akan mau mempertentangkan sunnah Rasulullah saw dengan pendapat mereka.Namun, sekalipun para imam sudah memberikan pernyataannya, tetapi mereka (para fanatik madzhab) tidak mau melaksanakannya.
Bahkan memberikan alasan-alasan untuk dapat tetap fanatik kepada madzhab mereka. Di antara argumen yang mereka lontarkan ialah:.

1. "Sesungguhnya para imam mengucapkan pernyataan-pernyataan di atas karena tawadlu' dan sopan santun (adab) kepada Rasulullah saw" Syaikh Ahmad Salam mengomentari ucapan mereka dengan menyatakan: "Sesungguhnya hakekat adab (sopan santun) terhadap sunnah Rasulullah ialah dengan konsisten dalam memegangi sunnah,mengamalkan konsekwensinya dan meninggalkan semua pendapat dan ijtihad yang menyelisihinya..." (Ma Ana 'Alaihi Wa Ashhaby, ¨ hal. 166).2. "

Sesungguhnya kita khawatir terjerumus dalam perbuatan dosa, jika kita salah dalam memahami ucapan Rasulullah saw ketika mempelajari sunnah dan merujuk kepadanya.

"Syaikh Ahmad Sallam juga mengomentari ucapan mereka ini. ¨Beliau menjelaskan: "Sesungguhnya orang yang salah dalam memahami ucapan Rasulullah lebih dimaafkan daripada orang yang menjadikan pendapat seorang imam sebagai barometer untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal." (Hal itu) karena Allah ta'ala memerintahkan umat ini untuk ittiba' kepada Nabi-Nya secara mutlaq dan tidak menjadikan ketaatan kepada seseorang melainkan dalam rangka taa tkepada Nabi-Nya.

Maka mencocoki sunnah merupakan syarat sah ketaatan kepada setiap orang.Kemudian, orang yang mampu untuk memahami ucapan seorang imam, maka dia akan lebih mampu untuk memahami ucapan Rasulullah saw, karena beliau diberi oleh Allah ¨Jawami'ul Kalim dan
kefasihan bahasa yang tidak diberikan kepada imam manapun.
Sesungguhnya orang yang sudah mengerahkan segala upaya untuk memahami firman Allah dan sabda Rasulullah, ¨namun dia salah; maka kesalahannyaitu akan dimaafkan dan dia akan mendapatkan pahala atas ijtihadnya..."(Ma Ana 'Alaihi Wa ¨Ashhabi, hal. 166-167)..








Tidak ada komentar: